Sepak Bola adalah Koentji

Christopel Paino
3 min readJul 25, 2019

--

Catatan ini saya buat pada tanggal 26 September 2018. Ketika itu, pernyataan Edy Rahmayadi, gubernur Sumatera Utara cum Ketua Umum PSSI menjadi viral karena diwawancarai oleh presenter Kompas TV, Aiman Witjaksono.

Sepak bola untuk negara seluas Indonesia itu ribet. Tidak mudah mengurusnya. Di Brasil saja, seorang sehebat Pele yang ditunjuk menjadi Menteri Luar Biasa Olahraga dengan membuat “Undang-undang Pele”, tak mampu menyelesaikan masalahnya, terutama korupsinya yang awet. Pele angkat tangan. Mundur dari jabatannya. Kembali jadi bintang iklan.

Di Indonesia, seorang Boaz Salosa, striker andalan Timnas Indonesia dan legenda hidup Persipura menyebut sepak bola Indonesia itu dikuasai mafia.

Ketika PSSI dipimpin Nurdin Halid, majalah Tempo pernah menulis investigasi dengan cover kaos Timnas Indonesia dengan judul; “KoruPSSI. Priiit…Banyak Sandiwara di Lapangan Bola.” Saya kebagian menulis kehancuran klub asal Sulawesi Utara, Persma Manado. Data awal “konspirasi” klub berjuluk Badai Biru itu sudah ditangan. Namun saya gagal menuliskannya, karena narasumber dan whistleblowernya berada di Jakarta.

Ditengah masalah akut yang melilit PSSI, supporter sepakbola Indonesia menunjukan wajah beringasnya. Saya setuju, jika kejadian pembunuhan terhadap supporter beberapa hari lalu, lahir karena kultur kekerasan yang akhir-akhir ini terjadi pada masyarakat kita.

Tapi Sodara-sodara tak perlu berkecil hati. Keberingasan supporter dalam sepak bola tidak hanya di Indonesia. Meski harus diakui rivalitas klub bola Indonesia tak se-ideologis klub-klub luar negeri. Katakanlah El Clasico di La Liga antara Barcelona dengan spirit katalunya melawan Real Madrid yang Spanyol dan rivalitas Old Firm Skotlandia; antara Glasgow Celtic yang Katolik versus Glasgow Rangers yang Protestan.

Atau dibandingkan dengan fanatisme pendukung Ultra Bad Boysnya Red Star Beograd versus Partizan yang di tahun 1990-an memiliki keterkaitan dengan perang Balkan.

Namun bagi Sodara-sodara yang belum tahu, saya kasi tahu bahwa sepak bola itu identik dengan politik.

Edy Rahmayadi yang menjabat sebagai Gubernur Sumatera Utara dan disaat bersamaan sebagai ketua umum PSSI, bisa mencontohi dari apa yang dilakukan oleh Silvio Berlusconi, mantan perdana menteri Itali. Meskipun pada akhirnya, Silvio Berlusconi sering berhadapan dengan pengadilan karena kasus-kasusnya.

Berlusconi tahu betul seberapa besar pengaruh media. Maka sebelum ia menjadi juragan klub bola dengan membeli AC Milan pada tahun 1986, ia terlebih dahulu menjadi juragan media.

Inilah yang menjadi modal politik ketika Berlusconi mencalonkan diri sebagai perdana menteri. Berkat sepak bola lah yang kemudian menjadi penopang dalam strategi pemilunya. Dengan memanfaatkan jutaan fans basis pendukung AC Milan, media dan biro iklannya sibuk memoles Berlusconi, hingga mendirikan partai politik yang ia beri nama “Forza Itali”. Alhasil, Berlusconi menang pemilu.

Berlusconi menjadi pesaing bagi keluarga Agneli, kaum industrialis di Itali yang menguasai Juventus. Ia tahu betul keluarga Agneli adalah keluarga tuan-tuan tanah pemalu yang bersembunyi dibalik layar, sambil terus mengontrol para politisi yang meregulasi kerajaan bisnisnya.

Dalam catatan Franklin Foer, seorang jurnalis asal Amerika, Itali mempunyai sebuah sistem yang bekerja dengan caranya sendiri; kaum industrialis dari utara, politisi korup Kristen demokrat, dan mafia dari selatan, berkoalisi untuk menjalankan negara. Politisi hidup dari sogokan kaum industrialis, dan industrialis bisa terus hidup dari proyek-proyek kenegaraan yang mereka terima sebagai imbalannya.

Berlusconi memakai sepak bola sebagai metafora untuk menunjukan bahwa dirinya seorang populis. Kosakata yang ia pakai sejalan dengan kelas menengah bawah yang ingin digarapnya sebagai basis politik. Meski para pengecamnya meyakini bahwa Berlusconi sebenarnya mirip dengan diktator Franco atau Mussolini.

Nah, untuk sepak bola Indonesia yang terdiri dari pulau-pulau ini, Edy Rahmayadi sepatutnya bisa meniru gaya Silvio Berlusconi itu. Tak perlu marah-marah di depan kamera. Karena publik juga berkepentingan dalam isu persepakbolaan di Indonesia yang didalamnya adalah PSSI.

Tapi tenang, Pak Edy tidak sendirian meski dibully banyak orang. Kalau ada lagi yang bully Pak Edy, sebagai mantan pemain bola dengan skill tingkat kecamatan, saya siap membantu, yah, minimal dengan bertanya balik sambil pegang golok, “Apa urusan Anda mengurus urusannya Pak Edy?”

Semoga setelah selesai menjabat Gubernur Sumut dan Ketua Umum PSSI, Pak Edy Rahmayadi bisa mencalonkan presiden. Kalau perlu calon tunggal, dipilih lewat musyawarah yang mufakat. Ada yang melawan, tampar! Sepak bola adalah koentji menyingkirkan cebong dan kampret. Maju Pak Edy!

--

--

Christopel Paino

I'm a journalist, humanists, writer and social worker based in Gorontalo, Sulawesi; a places near to Tomini bay that I really enjoyed the wind and waves.