Pembalut dan Pariwisata Gorontalo

Christopel Paino
4 min readJul 25, 2019

--

Popok dan pembalut yang saya temukan ketika snorkeling membersihkan pantai di lokasi hiu paus di Desa Botubarani, Kecamatan Kabila Bone, Kabupaten Bone Bolango, Gorontalo, Minggu, 9 September 2018.

Ketika melihat kemajuan pariwisata daerah lain, kita tentu akan ngiler. Contohlah Bali. Selain ingin menginjakan kaki kesana, kita akan berpikir: seharusnya itu bisa dilakukan di daerah kita sendiri, bukankah potensi wisata kita besar?

Bali memang memabukkan. Menjadi kiblat. Sebagian besar ingin kesana. Bahkan untuk mencapai target kunjungan 20 juta turis asing di tahun 2019, pemerintah pusat mencetak 10 destinasi wisata dengan sebutan, “10 Bali baru”. Salah satu yang menjadi proyek duplikat Bali baru adalah Morotai, di Maluku Utara.

Lima tahun setelah Sail Morotai yang menghabiskan uang yang tidak sedikit itu, saya menginjakan kaki ke Morotai. Mendatangi Pulau Dodola, Pulau Zum-zum, dan salah satu kampung tak bersignal yang memiliki potensi surfing.

Selain cerita Jenderal Douglas Mac Arthur yang menikmati kesunyian dalam perang dunia kedua, daratan Morotai tampak biasa-biasa saja.

Infrastruktur yang dibangun ketika Sail Morotai mulai rapuh. Pun museum-museum perang dunia yang dibangun pemerintah mulai tak terurus. Terkecuali oleh individu yang memiliki kepedulian. Memang pariwisata bawah laut Morotai sangat mumpuni. Namun disaat bersamaan, saya mendengar cerita soal kemiskinan dari nelayan-nelayan sekitar yang memprihatinkan.

Bagaimana dengan Gorontalo, yang tidak termasuk dalam proyek pencetakan 10 Bali baru yang didukung oleh pemerintah pusat?

Tenang. Kita punya tagline sendiri; “Pariwisata Gorontalo Lebih Mendunia”. Potensi wisata Gorontalo banyak. Bahkan yang sudah terkenal hingga ke mancanegara adalah ekowisata berbasis hiu paus (Rhincondon Typus) di Desa Botubarani, Kecamatan Kabila Bone.

“Hiu paus ini dikirimkan Tuhan ke Gorontalo,” begitu kata seorang kawan jurnalis, meniru kata-kata pejabat yang sempat ia liput.

Mafhum, dengan kehadiran hiu paus, maka akan menjadi pintu masuk untuk memperkenalkan hal-hal lain tentang Gorontalo kepada tamu-tamu asing. Bahkan beberapa perusahaan telah memanfaatkan hiu paus sebagai branding dari produk mereka.

Bagi beberapa penggiat pariwisata, Gorontalo hanya dianggap sebagai tempat transit saja bagi turis mancanegara, baik yang dari dan akan ke Togean.

Namun saat ini pemerintah sedang mengembangkan destinasi wisata Geopark. Ini adalah sebuah model wisata yang menginterkoneksikan taman laut Olele, wisata hiu paus, dan wisata budaya lainnya dalam satu kawasan, yang kemudian disebut geopark.

Cita-cita wisata bahari geopark ini adalah menjadikan Gorontalo sebagai proyek strategis nasional untuk pengembangan pariwisata di Indonesia. Maka mari berharap, dengan cara “Pariwisata Gorontalo Lebih Mendunia”, akan menjadi jalan keluar bagi Gorontalo yang masih terjebak dalam pusaran peringkat lima terbaik provinsi termiskin di Indonesia. (https://databoks.katadata.co.id/…/provinsi-dengan-angka-kem…).

Tapi benarkah demikian?

Saya justru memiliki kekhawatiran terhadap target “Pariwisata Gorontalo Mendunia” dengan model pendekatan green grabbing itu, tanpa melakukan hal yang paling mendasar, yaitu membangun karakter masyarakatnya.

Mellisa Leach, seorang antropolog lingkungan, dalam artikelnya yang berjudul The Dark Side of The Green Economy: Green Grabbing (Aljazeera.com, 2012), memberikan definisi tentang apa itu green grabbing. Yaitu sebuah isu dan agenda lingkungan yang menjadi dalih utama untuk merampas atau menguasai lahan luas , entah itu terkait dengan konservasi, keanekaragaman hayati, penyerapan biokarbon, biofuel, jasa ekosistem, ekoturisme, atau apapun yang terkait dengan itu.

Dalam beberapa kasus yang umum terjadi, aktivitas green grabbing mensyaratkan beberapa hal, seperti mengubah regulasi atau mengambil alih wewenang atas akses, penggunaan dan pengelolaan sumber daya alam yang dapat mengalienasi penduduk setempat dari lingkungannya.

Mellisa memberikan sebuah contoh kasus di Guetamala, Amerika Latin. Dimana sebuah perusahaan ekoturisme dan institusi militer bekerjasama untuk melindungi cagar biosfer dengan konsep “Mayan-themed vacationland” yang direncanakan dapat menghasilkan keuntungan dari sektor ekoturisme.

Peran militer disini sekaligus membantu pemerintah memerangi narkoba dan pemberontakan. Namun dalam prosesnya, banyak masyarakat yang diperlakukan dengan kekerasan dan disingkirkan secara paksa.

Model kasus industri pariwisata dengan membawa modal besar seperti ini sering terjadi di Indonesia. Contoh terbaru ketika di bulan April 2018, salah seorang warga mati tertembak senjata polisi ketika menolak pembangunan industri pariwisata di kawasan Pantai Marosi, Sumba Barat, Nusa Tenggara Timur.

Di Gorontalo, beberapa kawasan pariwisata yang dikelola oleh perusahaan, berpotensi mengalaminya. Karena pendekatan yang dilakukan dengan cara green grabbing tadi. Tentu kita tidak ingin hal-hal buruk terjadi dalam pariwisata kita.

Namun masih banyak hal yang harus dibenahi, agar gaung “Pariwisata Gorontalo Mendunia” tidak terlihat keropos di bawahnya. Salah satu yang penting, seperti yang saya sebutkan di atas, yaitu membangun karakter masyarakatnya, agar tidak kaget, kaku, tabu, dalam menghadapi perbedaan-perbedaan, dan persoalan-persoalan yang datang bersamaan menghinggapi sektor pariwisata.

Saya melihat pariwisata Gorontalo seperti sebuah pembalut dalam film India berjudul, Pad Man. Film yang diangkat dari kisah nyata dan dirilis pertama kali pada tanggal 28 Januari 2018 itu membongkar hal-hal yang dianggap tabu di masyarakat India.

Dalam film yang sebelumnya diambil dari buku berjudul “The Legend of Lakshmi Prasad”, menceritakan upaya seorang lelaki bernama Lakshmi dalam mengangkat permasalahan yang dianggap hanya urusan perempuan, tabu, kaku, pelik, dan diskriminatif, menjadi isu bersama dalam mengentaskan kemiskinan dan persoalan yang menghinggapi kaum perempuan lainnya.

Pembalut yang ia buat berhasil menolong hampir separuh populasi perempuan di India dari ancaman kematian, hingga akhirnya produk tersebut menjadi pembalut yang mendunia. Ia lalu diundang oleh PBB untuk menceritakan perjuangannya. Setelah itu kesuksesan menyusulnya, dan mesin pembalut yang ia ciptakan dipasarkan di 19 negara, dan didistribusikan ke 4.500 desa di seluruh India.

Memang butuh perjuangan dan waktu yang lama untuk mengangkat sesuatu. Tidak instan. Seperti halnya pariwisata kita. Tidak melulu mengasosiasikan pariwisata sebagai investasi hotel, resort, dan malah menyingkirkan masyarakat di sekitarnya.

Pariwisata harus mampu mengangkat derajat masyarakatnya. Seperti yang dilakukan oleh Harry Gobel Gorontalo and Mimin Homestay, dalam meningkatkan ekonomi masyarakat sekitar lewat jasa pariwisatanya, namun mendapat provokasi dari orang tertentu. http://radargorontalo.com/ditutup-paksa-turis-asing-bela-h…/

Maka mari kita belajar dari filosofi pembalut sebagai pembersih! Meskipun, pembalut adalah sampah yang kerap saya temukan ketika bersih-bersih pantai di wisata hiu paus Botubarani, Minggu, 9 September 2018 kemarin.

--

--

Christopel Paino

I'm a journalist, humanists, writer and social worker based in Gorontalo, Sulawesi; a places near to Tomini bay that I really enjoyed the wind and waves.