Ilustrasi: via pinterest.com.

Matinya sang Wombuwa

Christopel Paino
9 min readJul 25, 2019

Di siang ini, yang teriknya mulai surut, Bali Djama masih berdiri di tengah kebun dengan parang yang terselip di samping kiri pinggangnya. Ia memandang langit. Awan-awan bergumpal berkelam mendung. Cangkul yang tadinya ia pakai menggarap segera disimpan di pondok kecil yang ada di pojok kebun samping pohon mangga. Sebentar lagi hujan turun.

Namun Bali baru bisa memetik rica yang isinya sepertiga plastik hitam untuk dibawa pulang ke rumah. Ia harus menghentikan aktivitas memetik rica itu jika tubuh ringkihnya tidak ingin terkena air langit dan membuatnya remai.

Langkahnya dipercepat, ia meninggalkan kebun yang letaknya berada di bukit Botu Liyodu, tak jauh dari hutan yang sering diambil kayunya oleh para cukong. Belum sampai di rumahnya yang lebih mirip gubuk itu, hujan mengguyur. Kemeja lusuhnya basah, meski tak kuyup.

Bulir air hujan menggantung di ujung kumis dan jenggot panjangnya yang memutih. Beruntung kepalanya yang membotak itu terlindung oleh kopiah keranjangnya yang setiap saat selalu menjadi perisai, kemanapun ia pergi.

Woluwo malita (Ada ricanya)?” sambut istri Bali ketika lelaki tua itu sampai di rumahnya.

Bali hanya mengangguk. Ia menggoyang-goyangkan tangannya yang basah oleh hujan, dan langsung menuju dapur yang didapatinya air merembes dari atap yang terbuat dari daun kelapa. Tak ambil pusing, ia meletakan rica itu di para-para piring pojok dapur. Sangat lazim baginya ketika melihat air hujan merembes hingga dapur. Pun kamar yang selama ini ia bermadu kasih dengan istri hingga menciptakan lima orang anak dan enam orang cucu.

Nama Bali Djama sangat terkenal di kampung ini, kampung Liyodu. Bahkan hingga ke kampung tetangga, Molanihu. Ia mendapat gelar wombuwa. Gelar yang tak sembarang orang bisa mendapatkannya. Bahkan di Liyodu dan Molanihu, hanya ada tiga orang wombuwa, termasuk Bali Djama. Mereka punya kekuatan gaib.

Namun tak semata-mata kekuatan transendental itu yang membuat Bali mendapat gelar wombuwa, melainkan karena kearifan dan kebestariannya terhadap alam wilayahnya. Sehingga Bali selalu menjadi panutan bagi warga di kampung-kampung itu.

***

Pagi ketika mentari baru saja muncul di balik perbukitan itu, Bali tergopoh-gopoh menaiki bukit. Jalan sangat berbecek akibat hujan yang semalam suntuk menangis dengan gerimisnya, dan baru berhenti ketika dini hari sebelum azan subuh dikumandangkan.

”Bali… Bali…!”

Belum sampai di kebunnya, suara seseorang menggema di antara pepohonan dan sinar mentari pagi. Nama Bali dipanggil. Tak lama kemudian seorang pemuda muncul dari balik pohon dan mulai mendekati Bali.

Longola Opi (Kenapa Opi)?” tanya Bali kepada Opi, sang pemuda.

Watiya mohile tulungi, Bali. Walaa latiya mongoto (Saya mau minta tolong, Bali. Anak saya sakit),” kata Opi dengan nafas terengah-sengah.

Aliheo (Cepat),” balas Bali Djama.

Tanpa pikir panjang, tanpa menanyakan sakit apa yang diderita sang anak, Bali langsung menuruni bukit bersama Opi. Sambil sesekali tangannya memegang pundak Opi sebagai penuntun agar ia tidak terpeleset di tanah becek. Ia tak lagi berpikir soal meregangkan tubuh tuanya dengan mencangkul kebun saban pagi. Atau menghangatkan tubuh dengan balutan cahaya di kebunnya sambil menghisap rokok dari daun lontar.

Bali sangat cepat merespon jika ada warga yang meminta pertolongan. Apalagi Opi, si pemuda itu yang ia tahu memiliki anak yang baru berumur tujuh tahun. Yang sudah beberapa kali diobati olehnya.

Bali seorang yang tanggap. Ketanggapannya melampaui tugas paramedis yang sekolahnya harus mengeluarkan duit hingga ratusan juta untuk mendapatkan gelar dokter. Pengobatannya pun sangat alami dan menggunakan dedaunan yang ada di bukit dan hutan-hutan yang tak jauh dari tempat tinggalnya. Pun dengan aneka minyak yang selalu menjadi obat khasiatnya, yang ia campurkan dengan akar-akar pohon tua di hutan itu.

Hasilnya, tak usahlah membandingkan dengan pengobatan ala dokter di tempat praktek atau di rumah sakit atau di pusat-pusat kesehatan masyarakat. Masyarakat di sana sudah merasakan kepuasan tersendiri yang tidak mereka dapatkan dari dokter. Apalagi pelayanannya, jauh lebih memuaskan dari dokter yang bergelar spesialis ini-itu sekalipun.

Odu’olo, Bali Djama. Walaa latiya mahemo moitohu masatia. (Terima kasih, Bali Djama. Anak saya sudah bisa bermain sekarang),” kata Opi kepada Bali Djama, ketika anaknya sudah sembuh dari sakit.

Karena ia menyandang wombuwa, maka Bali Djama tak hanya sekedar mengobati. Ia adalah penghubung manusia-manusia di Liyodu dan Molanihu yang mendapatkan bala dengan pulohuta, sang penguasa hutan di sana yang tak kasatmata.

Ketika banjir dan longsor menerjang wilayah mereka, maka Bali akan menanyakan kepada pulohuta. Kenapa pulohuta sampai sebegitu marahnya dengan warga kampung sehingga harus mengirim banjir dan longsor. Pun dengan wabah-wabah penyakit yang menjangkiti warga.

Namun untuk berkomunikasi dengan pulohuta tidaklah mudah. Harus dilakukan ritual. Ritual tersebut adalah dayango. Ritual ini sudah menjadi tradisi yang berlangsung sejak lama dan turun-temurun. Bali Djama adalah generasi kelima wombuwa di kampung itu.

Suatu ketika di pertengahan tahun 2002. Warga di kampung itu sedang sibuk-sibuknya. Mereka menuju lapangan di pinggir kampung yang dikelilingi bukit-bukit hijau tinggi menjulang. Salah seorang warga tampak membawa telur sebanyak 150 butir. Yang lainnya membawa 30 ekor ayam. Tak lama berselang, seorang ibu membawa nasi kuning bersama seorang lainnya yang membawa nasi beras merah. Lama kelamaan makin ramai dengan warga yang membawa bermacam-macam hasil kebun: pisang, singkong, kelapa muda, pinang, tembakau, gambir, daun aren, janur kuning, serta beraneka bunga.

Untuk mendapatkan hasil kebun itu tidaklah sulit. Tanah di kampung itu sangatlah subur. Mereka bersukarela menyumbangkan semua hasil kebun tersebut demi kepentingan bersama kampung itu.

Tiba-tiba gong dibunyikan. Salah seorang maju ke depan menara yang terbuat dari bambu di lapangan itu. Posisi menara itu tak jauh dari pohon besar yang di belakangnya merupakan hutan belantara.

”Terimakasih saudara-saudara. Bahan-bahanya sudah lengkap. Dayango akan segera dimulai,” kata seorang tetua kampung di hadapan ratusan warga yang memadati lapangan.

”Para wombuwa silahkan mengambil tempat.”

Bali Djama dan dua orang wombuwa lainnya bersiap-siap. Bali mengambil posisi berdiri menghadap ke utara. Mulutnya komat-kamit. Lalu menghadap barat, selatan, dan timur secara bergantian.

Warga yang menonton semuanya duduk. Mereka berharap jawaban yang akan disampaikan pulohuta kepada para wombuwa adalah kabar baik bagi kampung itu. Karena banjir dan longsor yang disertai wabah itu telah meresahkan warga.

”Semoga roh-roh pulohuta tidak lagi marah,” salah seorang warga berbisik kepada kawan di sampingnya ketika menyaksikan para wombuwa sedang berkomunikasi dengan pulohuta.

Selang sejam kemudian, para wombuwa selesai melaksanakan ritualnya. Bali Djama dan dua orang wombuwa berbicara dengan tetua kampung. Mereka berembuk.

”Baiklah saudara-saudara. Saya akan mengumumkan jawaban pulohuta berdasarkan komunikasi dengan wombuwa tadi,” kata tetua kampung itu dengan suara setengah berteriak.

”Pulohuta memang marah. Pulohuta menegaskan agar kita memperlakukan alam dengan baik dan bijak. Dan memperuntukan sebaik-baiknya bagi kebutuhan hidup kita. Jika ada yang menebang pohon, maka kita harus memperhatikan dengan seksama jenis pohon apa yang akan ditebang, serta usia pohon yang hendak ditebang. Pada saat menebang pun, kita diwajibkan memasang rokok, lalu meletakannya di area pohon dan membiarkannya terus menyala, sampai selesai menebang.”

Mendengar pengumuman dari tetua kampung itu, warga saling mengangguk kepala satu sama lain. Di antara mereka, ada yang saling menyalahkan karena telah menebang tanpa memperhatikan usia pohon.

Namun, belum selesai ritual dayango itu dilakukan, tiba-tiba warga dikejutkan dengan kedatangan lima orang tamu tak diundang berpakaian cokelat, lengkap dengan pistolnya.

”Kami dari kepolisian. Acara ini harus dibubarkan,” teriak salah seorang polisi berkumis tebal, lengkap dengan topi kebesarannya.

Warga tiba-tiba ribut dan saling berpandang dalam kebingungan masing-masing.

”Tenang! Tenang semuanya,” tetua kampung mencoba menenangkan warganya.

”Apa salah kami Pak Polisi? Acara dayango seperti ini sudah lama kami lakukan. Ini tradisi nenek moyang kami. Kami tak melakukan kejahatan.”

”Acara ini tidak ada izinnya,” jawab polisi berkumis tebal itu. Sementara mata empat orang polisi lainnya dengan tajam memperhatikan sesajen yang dijadikan ritual dayango.

”Kenapa harus minta izin? Kami sering melakukan ritual ini sebelumnya, dan tanpa harus izin kepolisian,” tetua kampung menegaskan.

Melihat kedatangan polisi-polisi yang membubarkan dayango itu, Bali Djama geram. Tapi ia tak mampu mendebat polisi itu, apalagi ia sadar bahwa ia tak bisa berbahasa Indonesia. Bisa jadi, ia akan ditembak karena lebih cinta kepada bahasa Gorontalo ketimbang berbahasa Indonesia. Maka tuduhan kepadanya akan bertambah, karena tidak nasionalis, karena tidak cinta pada Indonesia.

”Pokoknya acara ini harus dibubarkan. Karena tidak memiliki izin keramaian. Kalian tahu tidak, acara ini bisa mengundang keributan!” tandas polisi berkumis tebal itu kepada tetua kampung. Wajahnya memandang ke semua warga.

”Wah… Pak Polisi, seumur-umur dayango dilakukan, tidak pernah ada keributan,” tetua kampung membalas bentakan polisi itu.

”Anda mau melawan polisi ya? Anda tahu tidak, yang kalian buat ini sesat dan menduakan Tuhan.”

”Siapa yang bilang ini sesat?”

”Sebelum ke sini, kami sudah membahasnya bersama Ulama dan para kyai. Kalian sesat! Dayango juga sudah ada larangan dari pemerintah daerah. Sebaiknya kalian membubarkan diri saja, sebelum kami yang membubarkan!”

Mendengar bentakan polisi berkumis tebal itu, mereka akhirnya pasrah. Apalagi sudah menyebut pemerintah daerah yang merupakan otoritas berwenang. Plus menyebut nama ulama dan kyai yang mencap mereka sesat dan menduakan Tuhan.

Sejak saat itu dayango dilarang. Bali Djama tak bisa berbuat apa-apa. Gelar wombuwa yang disandangnya terancam sia-sia karena dayango tak dibolehkan oleh pemerintah. Kalau melawan, tak segan-segan alat kekerasan negara yang bernama polisi, akan turun menghabisi mereka. Namun ia tak kehilangan akal. Agar dayango tetap dilaksanakan karena sudah menjadi warisan nenek moyang Gorontalo, maka dayango harus dilakukan secara sembunyi-sembunyi.

***

Seorang pemuda tiba-tiba berlari ke arah rumah Bali Djama yang kontur tanahnya agak menanjak. Opi, pemuda tersebut, napasnya terengah-engah. Ia laksana dikejar hantu. Sesampainya di rumah Bali Djama, ia membungkuk. Mulutnya megap-megap karena kelelahan. Tingkah Opi itu menjadi bahan tertawaan anak-anak Bali Djama.

Longola yio Opi? Mongoto wolo poli wala’umu (Kenapa kau Opi? Sakit apa lagi anakmu)?” tanya Bali Djama.

Dila Bali. Wala’a latia jamongoto (Tidak Bali. Anak saya tidak sakit),” kata Opi dengan napas turun-naik.

Lapatao, wolo patujumu (Lantas, apa maksudmu datang ke sini)?” tanya Bali Djama.

Wolu’o tau dadata to lapangi, Bali. Wolu’o Polisi, ustad, wau pemerendha (Ada banyak orang di lapangan, Bali. Ada polisi, ustad, dan pemerintah).”

Mendengar ucapan Opi itu, Bali langsung masuk ke dalam rumah, lalu menuju kamar. Beberapa saat kemudian, Bali keluar dengan menggunakan kemeja putih lusuhnya yang tanpa kancing.

Dulolo, bilihendho tingolio to lapangi (Ayo, kita lihat mereka di lapangan),” kata Bali kepada Opi. Anak-anak Bali pun ikut bersama menuju lapangan.

Sesampainya di lapangan yang tak begitu jauh, tengah berkumpul beberapa orang yang asing di mata warga setempat. Orang-orang itu ada yang berpakaian sorban, berseragam polisi, berseragam dinas kepegawaian pemerintahan, dan juga ada yang memakai jas berdasi. Jumlahnya sekitar 20 orang. Mereka sedang berbicara dengan tetua kampung itu dan juga beberapa warga yang ikut berkumpul.

”Kami sudah mengetahui, kalau di daerah ini masih saja melaksanakan ritual-ritual yang bertentangan dengan syariat Islam. Bahkan sampai ada sesajen dan menyembah pohon. Itu jelas-jelas dilarang dalam agama,” salah seorang yang berpakain sorban menjelaskan kedatangan mereka kepada warga kampung.

”Kami sudah mengeluarkan fatwa haram terhadap dayango,” katanya lagi.

”Untuk itulah kami datang ke sini. Saya selaku perwakilan pemerintah daerah, ingin menyampaikan informasi penting kepada warga di kampung ini. Bahwa dayango sudah dilarang. Saya membawa surat instruksi dari kepala daerah, supaya semua warga di kampung ini tahu. Dan pohon-pohon besar itu harus ditebang,” tegas salah seorang di antara mereka yang mengaku dari perwakilan pemerintah.

Tak berapa lama si perwakilan pemerintah itu menjelaskan, lelaki berpakaian jas dan berdasi berjalan agak ke belakang. Kedua tangannya diangkat-angkat seperti sedang memberi komando.

”Ayo maju… maju…!”

Dan tiba — tiba, suara bergemuruh terdengar kuat. Ternyata sebuah buldozer berjalan menuju lapangan dan berbelok ke arah pepohonan. Capit buldozer itu lalu menerkam pohon yang berbaris layaknya prajurit yang siap bertempur di medan perang. Namun pohon itu pasrah diterkam buldozer. Sementara salah seorang menenteng gergaji mesin berukuran besar. Dia lalu menebang pohon tua besar di pinggir lapangan itu.

”Braaakkkk!” satu persatu pohon-pohon di kampung itu tumbang.

Warga yang melihatnya hanya bisa meronta dalam hati. Ada yang coba melawan, namun polisi siap menghadang. Sementara Bali Djama tak bisa berbuat apa-apa. Kekuatan transendentalnya tak mampu menghentikan buldozer yang membabi buta menghancurkan alamnya. Ia hanya bisa mengepalkan kedua tangannya yang sudah berkeriput itu.

Bali tak menyangka, para ulama yang duduk dalam lembaga keagamaan beserta orang-orang pemerintah daerah itu telah bersekongkol dengan pengusaha: mengambil kayu-kayu dari kampungnya, memporakporandakan benteng mereka.

***

Bali mulai sakit-sakitan. Tak ada lagi hutan dan keceriaan burung-burung yang bisa ia saksikan setiap pagi di kebunnya. Tubuhnya mulai melemah. Ia tak mampu melawan usianya yang semakin hari semakin tua. Usianya kini telah 66 tahun. Tak ada lagi kebun tempat ia memacul, yang saban pagi ia lakukan untuk meregangkan tubuh. Ia tak lagi kuat. Tak mampu berjalan jauh, yang ketika dia sehat mampu menapaki bukit hingga berkilo-kilo jauhnya.

Tak ada lagi hutan yang selalu ia habiskan dalam tidur siangnya, yang ia rasakan sambil menghirup oksigen dari pohon- pohon lebat itu. Semuanya ditebang. Tak ayal, banjir pun menerjang daerah hilir. Setiap tahun Gorontalo terendam banjir. Bahkan ketika hujan turun hanya beberapa jam saja, air langsung menggenang di setiap sudut kota.

Dan kabar di siang itu langsung menyebar ke seluruh perkampungan. Bahwa Bali Djama, sang wombuwa, yang sudah sakit-sakitan itu, akhirnya menghembuskan napas terakhirnya.

”Bali Djama meninggal dunia,” kata Opi kepada istrinya.

Awan-awan bergumpal berkelam mendung pada bulan April itu melepas kepergian Bali. Orang kampung berduka.

Sang wombuwa mereka menghembuskan napas terakhirnya, di saat penguasa dan pengusaha asyik bermain golf bersama selingkuhannya. Sang wombuwa itu pun mati di saat para ulama berpoligami dan naik haji berulang kali memakai uang dari hasil hutan di tanah itu. (*)

Cerpen ini dimuat di situs www.lenteratimur.com, Jumat, 25 Mei 2012.

--

--

Christopel Paino

I'm a journalist, humanists, writer and social worker based in Gorontalo, Sulawesi; a places near to Tomini bay that I really enjoyed the wind and waves.