Lelaki yang Tak Bermutu Menjemput Senja di Danau Limboto

Christopel Paino
3 min readJul 26, 2019

--

“Ghibah sore itu menyenangkan, apalagi saat sedang merayakan kehancuran seseorang yang membuat kita kesal”

. . .

Images copyright by: artmajeur.com

Pada sebuah sore, hingga menjelang malam. Ide-ide mulai berkelindan dalam masing-masing kepala. Usai menertawakan tingkah pola akademikus yang memiliki akal bulus dan pesohor instan pendatang baru yang telah mempersatukan umat bangsa lewat Youtube: Kimi Hime. Tiba-tiba usulan datang satu satu.

“Mari jo bekeng podcast!”

“Ayo, segera. So dari dulu ini ide bekeng podcast tidak mo jadi.”

“Manjo! Depe judul “Ghibah sore” saja.”

“Pokoknya bahas berbagai tema yang tak bermutu. Semakin tidak bermutu, semakin bagus.”

***

Kita yang pelik dengan rutinitas; yang muak dengan tingkah pola politikus; menertawakan kebodohan penguasa, seperti sekumpulan warga di Bikini Bottom yang memandang absurd segala hal yang terjadi di sekelilingnya. Kita,-jika tak menyebut kami,-adalah Spongebob, Patrick, atau Squidward di Krusty Crab dan Chum Bucket yang sedang bersantai ria menunggu matahari terbenam di tepi jalan Conch Street, sembari berghibah sore yang menyenangkan,-apalagi saat sedang merayakan kehancuran seseorang yang membuat kita kesal.

“Apa judul podcast perdana kita nanti?”

“Seorang lelaki tak bermutu yang sedang menunggu senja di ujung Danau Limboto?”

“Oh boleh, boleh. Biar agak-agak tidak bermutu bagitu.”

“Siapa lelaki itu?”

“So dia no!”

“Dia yang menyimpang?”

“Dia yang terhempas?”

“Dia yang tak berdaya?”

“Oh, oke. Oke. So pas itu!”

“Huakkakakakakak.”

Plankton-plankton tertawa. Menertawakan kenyataan dalam kehidupan penduduk berjiwa sejuta lebih di Bikini Bottom.

***

Lelaki itu bukan Oedipus. Yang membunuh ayahnya, yang menduduki takhta kerajaan, dan yang menikahi sang kekasih: Ratu Jocasta, yang tak lain adalah ibunya sendiri. Pernikahan Oedipus dan ibunya melahirkan empat orang anak. Mereka hidup bahagia, hingga suatu saat wabah menyerang, dan perlahan Oedipus menyadari bahwa ia telah menikahi ibunya sendiri. Pun begitu Ratu Jocasta yang menanggung pedih, malu yang tak berujung dan memutuskan gantung diri setelah tahu bahwa Oedipus adalah anaknya.

Lelaki itu bukan Oedipus! Yang memutuskan menusuk matanya hingga menjadi buta.

Lelaki itu bukan pula Sangkuriang dalam Tangkuban Perahu yang memiliki hasrat menikahi ibunya sendiri bernama Dayang Sumbi. Lelaki itu juga bukan pengidap Oedipus Complex.

Siapakah lelaki itu? Lelaki itu adalah tragedi. Dia, seorang lelaki, yang tak bermutu sedang menjemput senja di tepi Danau Limboto.

***

“Eh,..say,…gunung Tangkuban Perahu meletus, uti!”

“Lambat ente!”

“Kabar lama baru tiba ngana ini!”

“Huakakakakakak.”

“Baru podcast jadi bekeng?”

“Kase jadi!”

“Apa yang mo sadia?”

“Cuma mik deng rekaman”

“Mulai kapan ini?”

“Besok!”

“Tema apa?”

“Apa saja yang tidak bermutu!”

“Oke. Torang mulai dari lelaki yang tidak bermutu itu!”

***

Malam semakin matang. Obrolan semakin berbual-bual. Sementara meja-meja masih berserakan. Dan mereka belum beranjak dari bawah pohon pinang yang mulai rapuh. Sebab hammock masih menggantung. Mereka melepas lelah dengan ghibah-ghibah yang menyenangkan, apalagi saat sedang merayakan kehancuran seseorang yang membuat mereka kesal. Esok hari, proyek podcast yang tidak bermutu sedang menunggu.

Halaman AJI Kota Gorontalo, 26 Juli 2019.

--

--

Christopel Paino

I'm a journalist, humanists, writer and social worker based in Gorontalo, Sulawesi; a places near to Tomini bay that I really enjoyed the wind and waves.