Gus Dur, Munir, dan Dandhy Dwi Laksono

Christopel Paino
4 min readSep 26, 2019

--

“Orang yang masih terganggu dengan hinaan dan pujian manusia, dia masih hamba yang amatiran.”

Kalimat yang diucapkan Gus Dur dan sering dijadikan mantra oleh anak-anak ideologisnya ini, adalah analogi yang cocok untuk disematkan kepada orang-orang yang mengaku pejuang demokrasi, terlebih mereka yang punya kuasa, namun anti kritik, merasa namanya tercemar oleh polusi kata-kata, lalu menggunakan pasal karet untuk memenjarakan pendapat orang lain.

Gus Dur adalah contoh bagaimana ketika ia berkuasa, dicaci maki, dikritik habis-habisan, bahkan dihina fisiknya, namun tak pernah balik mengancam memenjarakan kata-kata orang yang membencinya.

Gus Dur juga adalah contoh bagaimana ketika perbedaan pendapatnya dibalas dengan cara-cara yang tidak lazim. Sebagaimana kita ketahui, Gus Dur yang masa kekuasaannya hanya 22 bulan itu, ketika berbeda pendapat dengan para elit politik, termasuk militer, justru dicabut mandatnya sebagai presiden melalui kekuatan politik dahsyat di MPR dan mendapuk wakilnya, Megawati Soekarnoputri, sebagai Presiden.

Dan seperti kita tahu bersama pula, Gus Dur ketika dilengserkan tidak mengerahkan sayap-sayap politik pendukungnya atau memanfaatkan organisasi massa sebesar Nahdatul Ulama. Justru sebaliknya Gus Dur menegaskan diri sebagai sosok yang santun dan sederhana dengan cara mengenakan celana pendek sembari melambaikan tangan meredam emosi pendukungnya di halaman istana negara.

Membicarakan Gus Dur memang tak ada habisnya. Di zaman UU ITE yang dengan mudahnya memenjarakan akal sehat ini, orang-orang merindukan Gus Dur. Satir-satirnya selalu dikenang.

Pada 7 September 2017 kemarin, anak-anak ideologisnya merayakan hari ulang tahunnya yang ke-77. Gus Dur lahir tanggal 7 September 1940 dan meninggal 30 Desember 2009. Tepat di hari ulang tahunnya itu pula, orang-orang berkumpul melawan lupa atas terbunuhnya Munir Said Thalib, 13 tahun silam.

Munir dibunuh 7 September 2004 dalam pesawat Garuda ketika menuju ke Belanda. Kematian Munir hingga saat ini masih penuh misteri. Padahal Tim Pencari Fakta (TPF) yang disahkan oleh presiden SBY kala itu, sudah menyebut enam orang tersangka pembunuh Munir; empat orang dari Garuda dan dua dari BIN (Badan Intelejen Negara). Namun hanya Pollycarpus yang ditetapkan sebagai tersangka dan sekarang sudah menghirup udara bebas.

Seiring berjalannya waktu, pada tahun lalu, tepatnya 25 Oktober, SBY menyatakan bahwa dokumen asli TPF telah hilang, yang ada hanyalah salinannya. Upaya KontraS, organisasi dimana Munir menjadi ketuanya, agar membuka dokumen TPF itu menemui jalan buntu. 16 Agustus 2017 lalu, Mahkamah Agung menolak kasasi yang diajukan KontraS. Suciwati, istri Munir, menyebut Jokowi tidak memenuhi janji dalam menuntaskan kasus Munir.

Munir adalah aktivis HAM yang menangani berbagai kasus yang terkait dengan militer di Indonesia. Mulai dari kasus kematian buruh perempuan Marsinah, pelanggaran HAM di Ambon, Timor Leste, Aceh hingga Papua. Namun upaya Munir dalam menuntaskan berbagai macam kasus pelanggaran HAM dan keterlibatan militer itu malah dijawab dengan kematian.

Di waktu yang bersamaan,-ketika sebagian orang berkumpul melawan lupa atas kematian Munir, mengenang kelahiran dan kata-kata Gus Dur,-di tempat lain di Jawa Timur, sebuah organisasi bernama Relawan Perjuangan Demokrasi (Repdem) yang merupakan organisasi sayap PDI Perjuangan, melaporkan Dandhy Dwi Laksono ke polisi. Mereka menggunakan pasal karet dan menuduh Dandhy telah mencemarkan nama ketua umum PDI Perjuangan, Megawati Soekarnoputri, hanya karena tulisannya yang penuh data dan membandingkannya dengan Aung San Suu Kyi, pimpinan National League for Democracy (NLD) Myanmar.

Dandhy Dwi Laksono adalah anggota Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan pendiri rumah produksi audio visual bernama Watchdoc. Salah satu film yang ia buat dan pertama kali saya nonton adalah “Kiri Hijau Kanan Merah”. Film dokumenter ini bercerita tentang masa kecil Munir, masa-masa kuliah di Universitas Brawijaya di Malang, aktif di YLBHI, hingga belum terbongkarnya jaringan pembunuh Munir.

Dandhy, sebagaimana Munir, adalah jurnalis yang mendedikasikan mata dan telinganya sebagai perwakilan publik dalam menjalankan tugas-tugas jurnalistiknya. Ia banyak menulis soal isu-isu sosial, dari reklamasi hingga isu separatis, dari kerusakan lingkungan hingga pelanggaran HAM.

Pada 15 September 2015 lalu, saya menjemput Dandhy Dwi Laksono dan rekannya Supart Arz di simpang jalan pintu gerbang Kota Gorontalo. Saat itu keduanya sedang berkeliling Indonesia yang diberi tajuk “Ekspedisi Indonesia Biru”. Keduanya menelusuri jalan-jalan Indonesia bertemu orang-orang biasa dengan berbagai macam warna, merekam langsung kenyataan-kenyataan yang berjejer sepanjang pulau, serta melihat bagaimana absennya negara dibanyak entitas.

Dandhy menggunakan platform jurnalisme advokasi dalam ekspedisinya. Dari perjalanan itu, kita bisa melihat bagaimana Dandhy yang juga penulis buku “Indonesia for Sale” dan “Jurnalisme Investigasi” itu, menghasilkan karya-karya dokumenter yang banyak dijadikan sebagai simbol melawan ketidakadilan terhadap kaum marginal. Beberapa karya dari sekian banyak karya yang telah ia buat adalah; Samin vs Semen, Kala Benoa, The Mahuzes, Baduy, Rayuan Pulau Palsu, dan Jakarta Unfair.

Tapi Dandhy kini diperhadapkan dengan pasal pencemaran nama baik dan penyebaran kebencian berdasarkan UU ITE, dengan ancaman pidana 4 tahun dan atau denda Rp 750 juta. Apa yang dilakukan oleh mereka yang mengaku pejuang demokrasi terhadap Dandhy ini justru membahayakan demokrasi itu sendiri.

Represifitas yang dilakukan oleh negara terhadap Dandhy dan terhadap aktivis-aktivis lainnya, yang dahulunya dilakukan dengan cara-cara penghilangan nyawa, penculikan, kini berubah wujud dengan cara memenjarakan pendapat, memenjarakan kebebasan berpikir warga negaranya.

UU ITE lewat pasal pencemaran nama baik dan penyebaran kebencian, telah menunjukan ketidakwarasan kita dalam berdemokrasi. Namun sesungguhnya, seperti kata Gus Dur, mereka-mereka yang suka menggunakan pasal karet karena merasa namanya tercemar, merasa terhina, sebenarnya adalah orang-orang amatiran.***

Tulisan saya dimuat di www.degorontalo.co ketika Dandhy Dwi Laksono dilaporkan oleh Relawan Perjuangan Demokrasi di Jawa Timur, 7 September 2017.

--

--

Christopel Paino

I'm a journalist, humanists, writer and social worker based in Gorontalo, Sulawesi; a places near to Tomini bay that I really enjoyed the wind and waves.