Dokumenter Kinipan: Virus Itu Datang dari Negara

Christopel Paino
7 min readApr 8, 2021

--

Horor. Itu adalah satu kata yang ada dalam otak saya untuk menggambarkan film terbaru produksi Watchdoc berjudul Kinipan. Sebelum menonton film yang disutradarai oleh Dandhy Laksono dan Indra Jati ini, awalnya saya menduga hanya akan menyaksikan film yang bertitik tolak dari aksi tokoh adat Dayak Tomun di kampung Kinipan bernama Efendi Buhing. Ia ditangkap paksa melalui alat-alat negara bersenjata dan direkam oleh istrinya, lalu dengan cepat menyebar hingga melahirkan solidaritas perlawanan seantero Indonesia.

Ternyata saya salah. Dalam film Kinipan, Dandhy justru menelanjangi pemerintah kita yang sudah gagal bin bebal lagi serakah, kemudian mengulang lagi kesalahan yang sama,-dan bahkan lebih dari itu,-membunuh pelan-pelan warganya lewat proyek yang dihasilkan dengan cara kongkalikong.

Di film ini, kita tidak hanya disadarkan bahwa Indonesia sedang tidak baik-baik saja, tetapi kita seperti sedang ditunggu oleh antrian virus yang lebih parah dari pandemik virus corona hari ini.

Dandhy sendiri menyebut bahwa Kinipan adalah film dokumenter terpanjang yang pernah mereka buat. Total durasinya adalah 2 jam 38 menit 12 detik. Berbeda dengan film besutan mereka sebelumnya Sexy Killers, menonton film Kinipan seperti membaca buku. Apalagi Dandhy dkk membagi fragmen film ini dengan bab per bab; totalnya 7 bab.

Maka kesan yang saya dapat persis serasa membaca novel, dan terutama alurnya juga dibuat maju mundur, sehingga menarik mata untuk terus menonton dan membuat betah duduk, bahkan tak sadar bahwa saya tidak sempat menyeruput kopi hitam pekat dan pahit kesukaan saya, karena telah melihat kenyataan lebih pahit yang disuguhkan lewat film Kinipan.

Di Kinipan, tokohnya,-seperti dalam poster,-adalah dua orang bernama Basuki yang bekerja di tingkat tapak di hutan Kalimantan Tengah, dan Feri Irawan di Jambi, yang mendatangi orang-orang di Pulau Sumatera bagian tengah. Dandhy juga tampil dalam film ini sebagai narator, sama seperti pada film-film dokumenter ekspedisi Indonesia biru garapannya.

Bab pertama dalam film ini bermula dari Basuki yang naik perahu dengan membawa bibit-bibit pohon yang akan ditanami dengan menelusuri sungai gambut di Taman Nasional Tanjung Puting. Tiba-tiba perahu berhenti. Mereka menduga telah menabrak bangkai Orangutan, ternyata Basuki dan teman-temannya menemukan bangkai seekor Bekantan; monyet khas pulau Borneo yang sering disebut monyet Belanda Kalimantan karena hidungnya yang mancung. Mata kamera menyorot salah satu sisi perahu yang memiliki tulisan menarik; “Forester: bukan anjing perusahaan”.

Ya, Basuki adalah seorang forester atau rimbawan. Dengan tulisan tersebut, telah menegaskan bahwa ia seorang rimbawan yang menolak bekerjasama dengan perusahaan esktraktif seperti sawit atau tambang. Basuki menanam pohon dengan tujuan tidak hanya untuk memberikan oksigen kepada manusia, tapi juga untuk memberikan kehidupan pada satwa-satwa yang memiliki andil besar dalam membantu penyerbukan. Maka tak heran temuan bangkai Bekantan itu membuat Basuki geram.

Adegan ini mengantarkan kita pada cerita Feri Irawan yang menelusuri kematian Harimau di hutan Sumatera, khususnya di Taman Nasional Kerinci Seblat. Populasi Harimau menyusut dan diperkirakan jumlahnya tersisa 400 ekor saja. Hilangnya Harimau ini mengakibatkan terjadinya ledakan populasi pada babi hutan yang dianggap warga sebagai hama. Feri menemui seorang pemburu babi hutan yang dalam sebulan bisa menangkap 4–5 ton babi dengan senapannya, kemudian dikirim ke taman satwa Ragunan, di Jakarta.

Bahkan, saking banyaknya babi, sebuah kasus unik ditemukan: Harimau mati karena dibunuh babi. Ya, babi membunuh Harimau, si penguasa hutan. Melihat ini saya membayangkan, jika ledakan kemiskinan terjadi di Indonesia, maka si miskin akan membunuh si penguasa negeri. Ngeri!

Feri menelusuri kematian Harimau yang dibunuh oleh babi dengan mendatangi seorang dokter hewan di Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA). Ternyata dalam tubuh babi itu mengandung cacing parasit yang telah membunuh si raja hutan. Dalam adegan ini, bisa jadi secara tidak langsung penonton akan mengambil kesimpulan; itulah kenapa babi haram dalam islam untuk di makan, bukan?

Namun jangan lupa bahwa sapi pun tidak aman untuk dikonsumsi karena antrax, ayam pun tidak aman dimakan karena flu burung, bahkan unta di Timur Tengah sekalipun tidak aman dikonsumsi karena virus mers.

Apa yang hendak disampaikan oleh Dandhy dalam bab di film ini? Deforestasi! Ya, deforestasi atau hilangnya hutan yang merupakan habitat dari satwa ini mendekatkan kita pada patogen, dimana makroorganisme parasit yang ada pada hewan,-seperti halnya harimau mati karena babi,-bisa berpindah pada manusia.

Contoh lainnya yang disuguhkan pada fragmen ini bagaimana deforestasi membuat monyet-monyet turun ke jalan raya, mencegat pengguna jalan dan mengemis makanan. Salah satu gambarnya diambil di jalan trans kebun kopi menuju Kota Palu, Sulawesi Tengah. Pada bulan Desember 2020 lalu, saya dan teman-teman melewati jalan itu, dan melihat adegan monyet yang nongkrong di pinggir jalan menanjak kebun kopi. Beberapa pengguna jalan yang lalu lalang berhenti dan memberikan makanan. Sepintas monyet meminta makanan ini terlihat normal, bahkan bisa dijadikan atraksi, atau selfie-selfie.

Namun itu mengandung bahaya. Apa bahayanya? Seekor nyamuk. Ya, nyamuk yang menggigit monyet itu membawa virus plasmodium knowlesi, yang menciptakan jenis penyakit malaria quotidiana yang berasal dari nyamuk anopheles. Ketika nyamuk menggigit monyet, lalu nyamuk itu menggigit manusia, maka virusnya telah berpindah. Kasus virus baru ini ditemukan pada seorang pekerja tambang di Kalimantan Timur yang menolak untuk diwawancarai.

Gerombolan monyet yang turun dan hidup berdekatan dengan manusia itu disebabkan oleh turunnya daya dukung habitat alami, sehingga satwa terganggu lingkungannya dan bisa menciptakan transmisi penyakit dari hewan ke manusia, atau dari manusia ke hewan. Dengan kata lain, deforestasi menyebabkan virus-virus baru. Kondisi ini yang sedang kita hadapi sekarang; pandemik!

Sebagai seorang alumni pengidap malaria, saya merasakan sakit kepala membayangkan kondisi ini. Apalagi, jika benar-benar virus lainnya sedang dalam antrian menunggu kita.

Lalu siapa yang menyebabkan terjadinya deforestasi?

Film Kinipan mengulas banyak hal. Selain horor virus yang menyebabkan pandemik tadi, pada bab berikutnya, Dandhy dkk menceritakan bagaimana upaya masyarakat adat di kampung Kinipan yang mempertahankan tanah ulayat mereka, yang melindungi hutan dengan kearifan secaran turun temurun, justru dituduh negara lewat salah satu sahabat intimnya bernama: pengusaha sawit!

Dan kita semua tahu lewat video viral penangkapan Efendi Buhing, tokoh adat Kinipan, yang diperlakukan seperti menangkap para narcos dari sebuah kartel narkoba, atau gembong teroris berkedok agama.

Sebelum penangkapan Efendi Buhing di rumahnya di kampung Kinipan, Basuki sering bertemu dengannya di hutan adat mereka. Bahkan dalam satu adegan Basuki bersama Efendi Buhing dan teman-temannya makan kodok hutan dicampur mie instan, serta melihat bagaimana perusahaan sawit mengambil kayu-kayu atau alat berat yang terus merusak di hutan adat Kinipan.

Di tengah pandemik dan ancaman krisis pangan, pemerintah malah merespon dengan mengeluarkan aturan sapu jagat atau yang dikenal dengan Undang-undang Cipta Kerja atau Omnibus Law, serta proyek Food Estate di Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah. Aturan-aturan yang dibuat oleh negara itu memperparah krisis lingkungan di Indonesia. Bahkan lokasi food estate di antaranya berada di lokasi eks proyek lahan gambut yang gagal di era Presiden Soeharto. Lagi-lagi, negara ini tidak belajar dari kesalahan yang sama; seperti kata pepatah, keledai tidak ingin jatuh di lubang yang sama.

Basuki kemudian mendatangi lokasi food estate tersebut. Di sana, pemerintah Indonesia mendatangkan alat-alat pertanian yang dibuat untuk membangun pusat produksi pangan atau food estate. Lucunya, alat-alat pertanian yang akan digunakan untuk mengerjakan sawah itu di antaranya dikerjakan oleh para tentara. Dengan menggunakan kaos oblong loreng khas tentara, mereka membajak sawah menggunakan traktor. Adegan lucunya pun terjadi, tentara-tentara muda itu kesulitan mengendalikan traktor.

Jika Panglima TNI menonton film ini, sepertinya mereka akan kena damprat.

Sama seperti Sexy Killers, di film ini Dandhy dkk juga menampilkan infografis relasi kekuasaan antara penguasa-pengusaha yang duduk di kursi DPR dan jajaran menteri kabinet Jokowi-Ma’ruf. Dari tangan, mulut, pikiran, dan perbuatan merekalah lahir aturan-aturan yang kini semakin memperparah krisis lingkungan di Indonesia. Seperti sebuah kotak pandora, maka dengan jelas, pertanyaan tentang siapa yang melakukan deforestasi, terjawab dalam fragmen ini.

Yang menarik dalam film ini, Basuki yang berada di Kalimantan Tengah dan Feri Irawan di Jambi, Sumatera, dipertemukan. Keduanya lalu meninjau bagaimana proyek restorasi ekosistem di Sumatera yang dilakukan oleh lembaga-lembaga yang sangat akrab dengan aktivis lingkungan dan mendapatkan donor dari luar negeri dalam skema perdagangan karbon, ternyata; seperti narasi Dandhy, mereka hanyalah sekedar kontraktor pelestari lingkungan.

Kinipan mengkritik organisasi yang berafiliasi untuk isu restorasi yang terdengar mulia karena menyelamatkan hutan Indonesia; justru berkonflik dengan masyarakat adat seperti Suku Talang Mamak dan Suku Anak Dalam. Mereka adalah PT Alam Bukit Tigapuluh dan PT Restorasi Ekosistem Indonesia. Bahkan di dalam izin konsesi restorasi mereka terdapat perkebunan sawit dan juga pembukaan jalan di Hutan Harapan untuk akses pengangkutan batu bara menuju pelabuhan. Organisasi-organisasi yang saya kenal baik dan berada dalam lingkaran pertemanan yang sama, seperti Burung Indonesia dan WWF, ternyata berafiliasi dengan perusahaan ini.

Pada fragmen ini, Feri Irawan menemui Direktur PT Alam Bukit Tigapulih, Dody Rukman, di camp mereka. Menariknya Dody Rukman saat diwawancarai Feri memakai kaos putih oblong yang ada tulisan “Forester”. Masih ingat kan, bagaimana di perahu Basuki tertulis “Forester: bukan anjing perusahaan”?

Di film ini, secara jelas disuguhkan; bahkan untuk urusan memulihkan kembali hutan dan lingkungan, negara ini menyerahkannya kepada perusahaan. Sebuah pertanyaan muncul, kenapa tidak diberikan saja kepada masyarakat adat, masyarakat yang mendiami hutan, masyarakat lokal yang sehari-hari paling paham dengan hutan?

Jawabannya karena negara mengambil pajak dari perusahaan senilai ratusan juta rupiah per tahun, yang hampir mustahil bisa “diperas” dari warganya.

Jika kritik itu diibaratkan seperti cermin, maka film Kinipan adalah sebuah cermin besar yang memperlihatkan borok wajah dari penguasa negara ini. Di dalam cermin besar itu, akan nampak horor yang menakutkan. Dari cermin besar itu pula, kita seolah sedang melihat ada banyak virus-virus berbahaya lainnya yang sedang menunggu di pintu gerbang masa depan. Celakanya, virus itu diciptakan oleh negara kita sendiri.

Namun seperti pepatah pula; “buruk rupa cermin dibelah”, penguasa negara ini tak ingin kita mengetahui borok di wajahnya. Jelas sudah, kita pada akhirnya mengetahui borok negara ini lewat film Kinipan.***

--

--

Christopel Paino

I'm a journalist, humanists, writer and social worker based in Gorontalo, Sulawesi; a places near to Tomini bay that I really enjoyed the wind and waves.