Berkelindan di Uwedikan

Christopel Paino
6 min readOct 4, 2020

--

Pulau Balean di Uwedikan. Foto: Christopel Paino

Uwedikan. Mendengar nama ini, seperti sebuah kata yang mistis, atau selarik kata yang penuh mantra, semacam guna-guna yang memikat hati hingga memaksa kaki untuk mendatanginya berkali-kali. Uwedikan hanyalah sebuah desa yang menjorok menghadap Pulau Salakan dan membujur di sebelah timur Kota Luwuk. Angin selalu berhembus hingga membuat kita enggan beranjak, atau terlelap di haribaan langit yang membiru.

Uwedikan hanyalah sebuah desa mungil menghadap laut. Namun jika peta dibentangkan, lahan dan kebun yang berundak lalu berpunggung selaksa putri Te Fiti dalam film Moana yang tertidur pulas ditiup angin laut. Uwedikan sesungguhnya besar. Luasnya 11,59 Kilometer persegi. Kebesaran Uwedikan bisa ditilik ke belakang: Uwedikan sudah ada sejak 1927. Orang-orang Saluan menemukan tempat ini dengan melihat begitu banyak air serta ikan yang melimpah ruah. Sebab itulah dinamakan “Uwe” yang berarti air, dan “Kan”, bermakna ikan.

Di penghujung Agustus 2020. Di saat kepercayaan orang pada pandemik virus corona menurun, kapal fery memuntahkan tubuh saya hingga menginjakkan kaki di pelabuhan Pagimana. Saya tak sendiri. Perjalanan itu ditemani Jalipati Tuheteru seorang Ambonese yang berkhidmat di Gorontalo serta Indira Moha, gadis blesteran Gorontalo cum Bolaang Mongondow Selatan. Tujuan kami adalah Uwedikan. Pagi hari di pelabuhan itu kami seperti terdampar di hadapan orang-orang asing yang menawarkan jasa dengan imbalan seharga dua bungkus rokok atau lebih per orang untuk tiba di terminal Boyou, pinggiran Kota Luwuk.

Jalipati dan Indira menumpang taksi yang sesungguhnya adalah mobil yang beranjak tua lalu dipaksa berlari hingga ke terminal Boyou. Saya sendiri menunggangi motor pabrikan Jepang yang ringkih sambil menelusuri kampung-kampung pesisir di Pagimana, melewati punggung bukit, dan melintasi kesejukan Salodik hingga akhirnya tiba di Uwedikan. Ini kali ketiga saya bertandang ke Uwedikan. Dua kedatangan sebelumnya saya telah bersahabat dengan hembusan angin laut, ombak yang mendebur malu-malu, ikan bakar beraroma matahari, serta olahan sagu dari tangan perempuan Bajo dan Saluan.

Siang itu, sebuah plang dengan papan berkerut di sebuah pertigaan jalan yang tak beraspal; tanah Uwedikan menyambut. Saya tak sabar bertemu orang-orang Uwedikan yang ramah, sebagaimana dahulunya tempat ini menyambut kedatangan orang-orang seberang untuk sekedar datang berteduh. Syahdan, sesungguhnya jauh sebelum disebut Uwedikan, kampung ini mula-mula oleh orang Saluan diberi nama “Segotan” yang bermakna tempat beristirahat atau persinggahan. Posisi yang menjadikannya laut sebagai beranda membuat orang-orang terpikat untuk mampir meski hanya sekedar.

Langit perlahan mulai mendung di tanah Banggai ketika saya tiba di ujung kampung sebelah barat Uwedikan. Di rumah-rumah orang Bajo yang mengapung di buih-buihnya ombak itu, pikiran saya melayang jauh pada abad ke 16 ketika Andres de Urdanette, seorang kulit putih Eropa dari Spanyol pertama kali menginjakkan kaki di tanah Banggai. Atau sebagaimana Hernando de Biautamente, seorang Portugis yang menginjakkan kakinya di tanah Banggai pada tahun 1596, hingga Cornelis de Houtman yang menceritakan Banggai sebelum kedatangannya ke pulau-pulau yang hari ini disebut Indonesia, dan pada akhirnya menjadi cikal bakal kongsi dagang kolonial Belanda bernama VOC (Vereenniging Oost Indische Compagnie) yang mencengkram kerajaan-kerajaan di Nusantara. Kehadiran Ikbal Karau, rekan kerja saya yang sudah di depan pintu rumah orang Bajo, membuyarkan khayalan itu.

Salah satu pemandangan di sudut kampung Uwedikan. Foto: Christopel Paino

Siang itu, isi otak saya berkelindan tentang Uwedikan. Saya serupa bangsa kolonial berkulit putih yang sedang mencari wilayah okupasi. Dengan segera saya buang jauh-jauh cara pandang tentang bagaimana eksotisme Uwedikan mendominasi otak kanan dan kiri. Namun lagi-lagi nama-nama orang Eropa itu melintas dalam pikiran dengan pertanyaan-pertanyaan baru:

“Apakah Andres de Urdanette dan Hernando de Biautamente pernah singgah di Uwedikan? Bisa saja kapal layar mereka berlabuh di Tanjung Bilalang dekat galangan? Atau siapa sangka Cornelis de Houtmen ketika menuliskan catatannya tentang Banggai justru terilhami oleh Uwedikan yang teduh?”

Pertanyaan itu sepertinya hanya bisa dijawab oleh angin yang berbisik pada pulau Togong, disaksikan karang di pesisir laut Uwedikan yang membisu, dan daun nyiur yang melambai-lambai membujuk memberitahu jawaban di ujung galangan.

***

“Uwedikan adalah olahan sagu, ikan bakar, angin yang berhembus, dan ombak yang mendebur malu-malu.”

Kalimat itu kembali berkelindan dalam pikiran manakala aroma ikan bakar sungguh menusuk hidung. Rita, istri dari Jhon,-sepasang suami-istri Bajo,-sedang meracik dabu-dabu. Asap dan bau rempahnya yang datang dari dapur rumah panggung seolah melawan angin dan mengajak saya untuk segera menyantapnya. Saya yang penat oleh perjalanan semalam sehari itu terhempas oleh lezatnya sinole* dan ikan bakar segar.

Kedatangan ke Uwedikan kali ini cukup lama. Saya dengan puas menikmati hilir mudik perahu cadiknya orang-orang Bajo di laut belakang rumah Jhon, baik dengan cara mendayung atau menggunakan mesin ketinting. Mengikuti kemana mereka melaut. Menangkap ikan karang atau gurita. Saat senggang, mereka duduk di beranda rumah sambil bercengkrama atau mencari kutu si anak yang kulitnya hangus dibakar matahari bercampur air laut yang asin. Atau melihat orang-orang Saluan pulang pergi ke kebun dengan menggunakan topi caping kerucut dari anyaman serupa bambu.

Waktu senggang, anak-anak duduk di depan rumah. Foto: Christopel Paino.

Uwedikan bukanlah kampung yang seragam. Sebaliknya, ia sangat beragam. Orang-orang Saluan hidup berdampingan dengan Bajo, sehidup semati dengan orang Buton, menjadi pendamping orang Bugis atau tua bersama orang Gorontalo. Mereka beranak-pinak berbaur menjadi satu. Uwedikan adalah kampung pesisir yang harmoni dan bertumpu pada keramahtamahan orang-orangnya. Keharmonisan mereka membuat saya terlena, seperti terlena oleh tidur siang akibat hembusan angin yang datang dari Pulau Balean.

Meski demikian, kecurigaan akan selalu hidup di Uwedikan. Saya pun meyakini bahwa kecurigaan terhadap sesuatu patut dilakukan, patut dipelihara. Karena itu adalah hal yang alami. Hingga suatu malam di bulan September, sekumpulan orang-orang muda yang berhimpun pada Karang Taruna yang baru dibentuk, berkumpul membentuk nyaris sebuah lingkaran. Setiap mata dari mereka tertuju ke arah saya. Dari mata itu pula saya melihat isyarat kecurigaan tentang apa yang saya sampaikan.

Kami sedang berdiskusi tentang apa yang akan saya dan teman-teman lakukan di Uwedikan hari ini dan hari-hari depannya. Saya bercerita tentang sumber daya alam yang semestinya mereka sudah tahu bahkan sejak mereka dalam kandungan. Apa yang harus dijaga, dikelola, bagaimana mengelolanya, dan betapa pentingnya keterlibatan orang-orang muda dalam membangun kampung. Sungguh malam itu, karena mata-mata curiga itulah, saya menikmati perjumpaan dan diskusi dengan Karang Taruna. Canda, bualan, dan tawa menyeruak ke langit malam.

Dari diskusi itu pula saya mengenal Ikbal Labani, ketua karang taruna baru terpilih yang jika mengambil keputusan memiliki banyak pertimbangan, jika tidak mau disebut peragu. Apin dan Ambi, dua orang senior mereka yang banyak didengar. Budi si pendiam. Zulfikar si cekatan. Aziz si gondrong yang suka membully dengan lelucon. Ucil yang suka membanyol dan jika ketemu Sadam, keduanya akan saling menertawakan wajah masing-masing, seperti sedang menertawakan nasib. Mamat yang mulai menyukai gaya anak indie. Ito, lulusan tenaga keperawatan yang tahu betul harga kebutuhan bahan pokok. Aul yang cadel. Ono yang gamers.

Juga ada Maspa yang periang dan suka ketawa serta Puput yang kadang pemalu, hingga Dewi yang baru pertama kali merasakan makan gurita di kampung orang, padahal gurita di Uwedikan melimpah ruah. Hingga anak-anak muda yang saya lupa nama mereka, namun jika ketemu tiba-tiba saja namanya langsung teringat. Malam itu mereka sangat antusias dan diskusi berlangsung dua arah. Kami semua bersepakat; menyamakan persepsi, menjaga Uwedikan. Pada mulanya adalah kecurigaan, langsung berubah menjadi kehangatan dan keramahtamahan.

Oya, satu lagi nama anak muda yang sejak pertama kali bertandang ke Uwedikan sudah saya kenal. Ia adalah Marwan Hanafi, si anak muda revolusioner lulusan Universitas Tompotika. Marwan jarang berkumpul dengan pemuda Uwedikan. Ia lebih banyak menghabiskan waktu di Bantayan, desa tetangga. Namun saya sering mendatangi rumahnya. Jika duduk bersamanya, seolah negara ini tiba-tiba sedang gawat. Sebab dalam setiap perbincangan jika tak membahas politik di level desa hingga kabupaten, juga selalu membahas soal penindasan, ketidakadilan, atau bagaimana perlakuan perusahaan PT Lautan Gunung Mas di Uwedikan, yang pernah ia demo. Marwan adalah anak muda yang bergelora.

Di ujung kampung Uwedikan, nyiur melambai-lambai. Foto: Christopel Paino.

Di Uwedikan, jika sudah bertemu dengan anak-anak muda itu, keterbukaan dan gotong royong akan terjalin, hingga kita tak akan sadar bahwa malam terus merangkak naik dan turun menuju dini hari, lalu berubah menjadi keesokan hari.

Begitulah Uwedikan. Di sini waktu berjalan cepat. Seperti sebuah mantra. Mistis. Cara pandang saya inilah yang terus berkelindan tentang Uwedikan. Namun ini baru awal. Ke depannya, saya akan berharap anak-anak muda Uwedikan bisa berpartisipasi aktif membangun kampung. Saya akan terus berharap. Terus berharap. Barangkali, seperti angin yang berharap pada ombak yang malu-malu. Ebehhhhh!***

Keterangan:

*Sinole=Olahan sagu dibuat dengan cara disangrai, sedikit basah, dan bercampur parutan kelapa.

*Ebeh=Bahasa slang, bahasa pergaulan orang-orang Banggai. Dipakai saat mengekspresikan sesuatu.

--

--

Christopel Paino

I'm a journalist, humanists, writer and social worker based in Gorontalo, Sulawesi; a places near to Tomini bay that I really enjoyed the wind and waves.